ANDRE: MENURUNNYA biaya transportasi dan pertumbuhan media komunikasi melalui internet membuat minat perjalanan wisata dengan biaya minim atau backpacking terus meningkat. Dengan daya tarik destinasi wisata yang tinggi, Jawa Tengah perlu menggarap serius potensi wisatawan backpackers.
Pertumbuhan wisata backpacking alias berwisata dengan kantong cekak sudah dikenal sejak puluhan tahun lalu. Berwisata dengan uang terbatas, selain dilakukan orang dengan penghasilan terbatas juga dilakukan orang berpunya yang ingin memacu adrenalin. Mendatangi tempat baru dengan uang alakadarnya.
Jawa Tengah dengan keunikan budaya dan kemajemukan destinasi wisata termasuk daerah yang disasar. Tony Wheeler dalam "South-East Asia on a Shoestring" terbitan 1975, mengulas Borobudur, Wonosobo, Ambarawa, dan Bandungan. Ia pun sudah menyebutkan beberapa penginapan murah di Bandungan maupun trik menumpang mobil colt dari Ambarawa menuju Bandungan.
"Sebetulnya potensi Jawa Tengah sebagai daerah sasaran backpacker itu besar sekali. Saya perkirakan jumlahnya bisa tiga kali lipat dibanding wisatawan konvensional," kata pengajar Program Studi Usaha Perjalanan Wisata, Rini Kartika Hudiono, Jumat (14/5/2010) di Salatiga.
Namun, belum ada pelaku wisata maupun pemerintah kabupaten dan kota ataupun provinsi yang melirik serius ceruk potensial ini. Masih ada stigmatisasi bahwa backpacker itu tidak akan banyak menggerakkan ekonomi wisata. Padahal, meski terbatas, para pengelana ini juga tetap membelanjakan uang.
Meski secara perorangan uang yang dibelanjakan relatif kecil, tetapi dengan jumlahnya yang banyak tetap akan memberi dampak ekonomi besar. Apalagi, belakangan ini minat wisata kantong cekak ini meningkat pesat. Pasalnya, kemajuan teknologi membuat seseorang bisa dengan mudah merencanakan perjalanan atau bertukar pikiran soal rencana wisata lewat internet.
"Kalau soal harga, Jawa Tengah itu surga bagi backpacker, tetapi belum ada semacam buku saku kalau backpacker mau cari penginapan murah itu di mana, enggak seperti Bali atau Jakarta," tutur Yoyok Wahyudi (27), warga Salatiga yang pernah menjelajahi Jakarta-Bali-Lombok delapan hari dengan biaya Rp 600.000.
Luar negeri lebih murah
Harga tiket yang mahal juga membuat backpakers lebih senang berwisata ke luar negeri daripada dalam negeri. Menurut backpacker asal Solo, Ariyanto (32), backpacker, mencontohkan, harga tiket ke luar negeri lebih murah ketimbang, misalnya ke Raja Ampat di Papua. "Untuk ke Raja Ampat tiket sekali jalan Rp 2,5 juta. Ke Singapura, Rp 300.000 sudah dapat," kata backpacker lainnya, Aning (29).
Dalam kondisi demikian, seharusnya pemerintah menggarap backpackers asing yang sangat potensial. Namun, kebijakan pemerintah tidak mendukung hal ini. Berlakunya bebas visa maksimal 30 hari ke Indonesia untuk kunjungan turis saat ini sangat memukul kehadiran turis advonturir atau backpacker. Biasanya, mereka bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan dalam kunjungannya ke Indonesia.
Kenyataan sepinya kunjungan para turis bertas punggung besar ini dirasakan pengelola penginapan di sekitar Candi Borobudur. Salah satunya Arsiwara (65), pengelola Hotel Rajasa yang merupakan salah satu tempat para turis advonturir menginap. "Penurunannya hingga 80 persen dalam lima tahun terakhir ini, banyak peraturan yang justru merugikan wisatawan asing saat berkunjung ke Indonesia," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar